Kamis, 24 November 2011

ISTC

International Standard for Tuberculosis Care ( ISTC)
Irvan Medison
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Pendahuluan
ISTC dimaksudkan untuk memfasilitasi  keterlibatan semua penyelenggara pelayanan kesehatan secara efektif dalam memberikan pelayanan yang berkualitas untuk pasien pada semua tingkatan  umur dan semua bentuk penyakit tuberkulosis (TB), termasuk TB yang resisten obat dan ko-infeksi TB-HIV.  Standar ini disusun oleh berbagai organisasi internasional yang peduli terhadap penyakit TB seperti WHO, KNCV (Ductch Tuberculosis Fondation), American Thoracic Society ( ATS), International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases ( IUATLD), US Center for Disease Control and Prevention  (CDC) dan Stop TB Partnership.

Prinsip dasar pelayanan kesehatan untuk mereka yang menderita atau diduga menderita TB sama di seluruh dunia. Diagnosis harus ditegakkan secara cepat dan akurat, paduan obat yang diberikan harus obat standar yang efektifitasnya sudah teruji dan pemberiannya harus dengan pengawasan, respon pengobatan harus dimonitor dan tanggung jawab kesehatan masyarakat harus dilaksanakan. Oleh karena itu semua penyelenggara kesehatan yang melakukan evaluasi dan pengobatan pasien TB harus menyadari bahwa mereka tidak hanya memberikan pelayanan untuk idividu namun mereka juga mengemban fungsi kesehatan masyarakat.

Target utama standar ini adalah penyelenggara pelayanan kesehatan nonprogram (swasta), namun penyelenggara program TB pemerintah juga berkewajiban mematuhi standar ini. Untuk itu program penanggulangan TB nasional dan lokal perlu mengembangkan suatu kebijakan  dan aturan atau prosedur yang memungkinkan penyelenggara pelayanan kesehatan non program memenuhi standar ini. Seperti  dalam hal memfasilitasi pengawasan pengobatan dan investigasi kontak.

ISTC terdiri dari 3 komponen yaitu standar diagnostik, standar terapi dan standar  untuk tanggung jawab kesehatan masyarakat.  Untuk penerapan di Indonesia  para ahli memandang purlu adanya penyesuaian dengan kondisi di Indonesia, berdasarkan kesepakan dibuatlah beberapa addendum untuk melengkapi beberapa standar  yang sudah ada.

A.      Standar  diagnosis
Standar 1
Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk TB.
Addendum
Untuk pasien anak, selain gejala batuk , entry untuk diagnosis adalah berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Rasionalisasi  dan bukti
Hampir semua penderita TB paru mengalami gejala batuk, namun  batuk tidak spesifik untuk TB karena juga di temukan pada penyakit paru lainnya seperti penyakit infeksi, asma, penyakit paru obstruktif kronik. Walupun demikian gejala batuk 2-3  minggu masih digunakan pada sebagian besar pedoman nasional dan internasional sebagai kriteria dugaan seseoran menderitaTB paru.
Penelitian di India, Aljazair dan Chili menunjukan bahwa persentase sedian apus dahak positif meningkat sejalan dengan meningkatna waktu batuk dari 1-2 minggu, 3-4 minggu lebih dari 4 minggu
Penelitian di Indian, menunjukan bila batas waktu batuk  2 minggu atau lebih untuk digunakan untuk mendapatkan spesemen dahak, jumlah pasien diduga TB meningkat sebesar 61 % dan yang lebih penting lagi adalah jumlah kasus TB yang teridentifikasi meningkat menjadi 46 % dibanding apabila menggunakan batas waktu 3 minggu atau lebih.
Dengan demikian pemilihan batas waktu 2-3 minggu atau lebih  ada dasarnya.

Standar 2
Semua pasien yang diduga menderita TB paru, (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan mikroskopis sputum  sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 x pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari.

Rasionalisasi dan bukti
Segala usaha  dalam menegakkan diagnosis TB harus dilakukan, yaitu dengan mengidentifikasi penyebab penyakit ini.  Identifikasi basil tahan asam (BTA) dengan pemeriksaan mikroskopik sangat penting  karena merupakan metoda yang tercepat untuk mementukan seseorang menderita TB, pemeriksaan ini mudah, dapat dilakukan di hampir semua pusat kesehatan. Diagnosis mikrobiologi hanya bisa dikonfirmasi dengan biakan M. tuberculosis complex.
Data terakhir  dari berbagai sumber disimpulkan bahwa rata-rata spesemen positif pada pemeriksaan sputum pertama adalah 83-87% dari semua pasien BTA positif, selanjutnya pemeriksaan  sputum kedua menjadikan BTA  positif bertambah lagi 10-12% dan pemeriksaan sputum ketiga menjadikan BTA positif bertambah lagi 3-5%.

Standar 3
Pada semua pasien ( dewasa, remaja dan anak-anak) yang diduga menderita TB ekstra paru, spesemen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya , dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi
Addendum
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB millier. Pemeriksaan dahak perlu dilakukan , bila mungkin juga pada anak.             
               
Rasionalisasi dan bukti
TB ektraparu yan tidak disertai keterlibatan paru mencapai 15-20% dari semua TB di dalam populasi dengan tingkat prevalensi HIV rendah, sedangkan  pada daerah prevalensi HIV tinggi proporsi kasus TB ekstraparu lebih tinggi. Umumnya M tuberculosis lebih sedikit ditemukan pada lokasi ektra paru  sehingga identifikasi BTA dari sedian langsung jarang yang positif  karena itu pemeriksaan biakan dan histopatologi spesemen jaringan merupakan diagnostik  yang penting.
Pemeriksaan dahak dan foto torak juga berguna  terutama pada pasien terinfeksi HIV.
Semua pasien yang mempunyai penyakit yang mirip TB yang parah atau memburuk secara cepat, pengobatan harus segera dimulai sambil menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologis.



Standar 4
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan akan TB harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikrobiologi.

Rasionalisasi dan bukti
Foto toraks sensitif tapi tidak spesifik untuk mendeteksi tuberkulosis. Mengandalkan foto toraks saja sebagai uji diagnosis TB berakibat over diagnosis atau salah diagnosis.
Penelitian di India terhadap 2229 pasien rawat jalan  foto torak , 227  diklasifikasikan sebagai TB berdasarkan kriteria radiografik. Dari 227 pasien tersebut 81 ( 36 %) mempunyai biakan negatif sedang sisanya 2002 pasien, 31 ( 1,5 %) diataranya menunjukan biakan positif. Jika ditinjau dari aspek sensitifitas maka 31 ( 20%) dari 162 kasus biakanpositif tidak terdeteksi secara radiografi.

Standar 5
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria sebagai berikut : pemeriksaan mikroskopis sputum negatif paling kurang  3x (termasuk minimal 1x terhadap sputum pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan sesuai TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian fluorokuinolon karena mempunyai efek anti TB sehingga terjadi  perbaikan sesaat pada penderita TB). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan

Rasionalisasi dan hasil penelitian
Diagnosis TB BTA negatif  menimbulkan dilema diagnostik, seperti diketahui sensitifitas rata-rata  pemeriksaan BTA sputum langsung berkisar 50-60% jika dibanding biakan. Gejala klinis TB juga tidak spesifik untuk itu dibutuhkan pendekatan yang lengkap. WHO mengembangkan sebuah alur langkah diagnosis tuberkulosis BTA negatif dengan pendekatan yang sistematis.  pemeriksaan biakan lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan sedian langsung.

Standar 6
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinum) pada anak dengan BTA negatif harus berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak dengan penderita menular atau bukti infeksi TB (uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif). Pada pasien demikian, bila ada fasiliti  harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.

Addendum
Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti infeksi TB ( uji tuberculin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografik toraks sesuai TB.
               
Rasionalisasi dan hasil penelitian
Pemeriksan BTA langsung pada TB anak sering kali negatif, oleh karena itu biakan dahak atau bahan lain, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan lain untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis ( uji tuberkulin ) relatif jauh lebih penting. Anak umur kurang dari 5 tahun tidak batuk dan tidak dapat mengeluarkan dahaknya secara efektif,  untuk itu perlu dilakukan biakan bilasan lambung atau bahan dahak induksi.

B.      Standar Terapi

Standar 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat. Untuk memenuhi fungsi ini praktisi bukan hanya harus memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga harus mampu memantau kepatuhan berobat sekaligus  menangani kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan demikian akan terjamin kepatuhan berobat sehingga pengobatan lengkap.

Rasionalisasi dan hasil penelitian
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan milik pemerintah dan swasta yang mengobati pasien TB harus memiliki pengetahuan untuk memberikan paduan obat baku  dan cara menilai kepatuhan pasien kepada paduan obat tersebut dan menangani ketidak patuhan tersebut untuk memastikan pengobatan sampai lengkap.

Standar 8
Semua pasien ( termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase awal harus terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari INH dan rifampisin selama 4 bulan. Pemberian INH dan Etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai, tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi sehubungan dengan pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV. Dosis OAT ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat ( INH dan Rifampisin), 3 obat  ( INH, Rifampisin, Pirazinamid ) dari 4 obat ( INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol ) sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.

Addendum
a.       Etambutol boleh dihilangkan pada fase awal pengobatan pasien  dewasa dan anak  dengan sediaan apus hadak negative, tidak menderita TB paru yang luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta diketahui tidak
b.      Secara umum terapi  TB pada anak  diberikan selama 6 bulan, namun pda keadaan tertentu ( meningitis, TB milier dan TB berat lainnya) terapi TB diberikan lebih lama ( 9 – 12 bulan )  dengan paduan OAT yang lebih lengkkap sesuai dengan derajad  penyakitnya.

Rasionalisasi dan hasil penelitian
Lama pengobatan minimal 6 bulan merupakan paduan OAT yang mempunyai efektifitas maksimal. Ada dua tinjauan yang sistematik mengenai paduan obat yang lebih pendek mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi.
Alasan penggunaan INH dengan etambutol selama 6 bulan pada fase lanjutan pada pasien yang diduga tidak patuh adalah  untuk meminimalkan timbulnya resistensi terhadap rifampisin .

Standar  9
Untuk menjaga dan menilai kepatuhan  terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai antara pasien dan praktisi pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu serta sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan pendukung yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien.
Elemen utama pada strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk  keadaan masing masing individu  dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat ( directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan obat(PMO) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan

Rasionalisasi dan bukti
Keberhasilan pengobatan TBs, dengan asumsi bahwa paduan obat yang diberikan tepat, sebagian besar tergantung pada kepatuhan pasien pada paduan obat.
Kepatuhan ditentukan oleh interaksi lima dimensi antara lain; faktor individu, faktor terkait kondisi, faktos sistem kesehatan/ tim pelayanan kesehatan, faktor sosial ekonomi, faktor terkait pengobatan. Ketika ada orang kedua yang langsung mengawasi seorang pasien menelan obat maka kepastian pasien benar-benar menerima obat yang diresepkan lebih besar. Pendekatan ini menghasilkan tingkat kesembuhan yang tinggi dan mengurangi ririko resistensi obat.
Cara-cara dukungan pengobatan, bukan paduan obat yang harus dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan unik pasien.

Standar 10
Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB  ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)

Addendum
Respon pengobatan pada pasien TB millier dan efusi pleura atau TB BTA negative dapat dinilai dengan foto toraks.

Rasionalisasi dan bukti
Memantau pasien penting untuk menilai respon penyakit terhadap pengobatan dan untuk mengidentifikasi efek samping obat. Untuk menilai respon penyakit terhadap pengobatan metoda yang paling cepat adalah pemeriksaan mikroskopis sedian apus dahak. Untuk pasien tuberkulosis ektra paru dan tuberkulosis anak  penilaian respon pengobatan dilihat dari respon klinisnya.

Standar  11
Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respon bakteriologik dan efek samping harus ada untuk semua pasien.

Rasionalisasi dan bukti
Sistem pencatatan data dan pelaporan  memungkinkan pemantauan terarah dan pribadi untuk identifikasi pasien gagal terapi. Hal ini juga membantu memfasilitasi keberlanjutan pelayanan, terutama bila pasien tidak dilayani oleh dokter yang sama setiap kali kunjungan misalnya dirumah sakit besar. Pencatatan juga penting pada pelacakan pasien mangkir, pindah berobat atau catatan sebelunya pada kasus kambuh  agar dapat menilai kemungkinan resistensi obat dan paa kasus MDR TB tanpa adanya catatan hasil uji kepekaan  obat tidak mungkin tatalaksananya memadai.

Standar 12
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan ko-infeksi TB-HIV, maka konseling dan testing HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan testing HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang  diduga  HIV serta pada pasien TB dengan riwayat  berisiko tinggi terpajan HIV.

Rasionalisasi dan hasil penelitian
Infeksi HIV meningkatkan kemungkinan berkembangnya infeksi M tuberculosis menjadi TB aktif.
Meskipun di negara–negara dengan tingkat prevalensi HIV rendah, pasien TBs yang terinfeksi HIV jarang, uji HIV harus dipertimbangkan dalam penanganan pasien perseorangan, terutama di dalam kelompok dengan prevalensi  HIV lebih tinggi.

Standar 13
Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi untuk diberi terapi anti retroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya. 
Rasionalisasi dan hasil penelitian
Bukti keefektifan pengobatan tuberculosis paa pasien dengan ko-infeksi HIV dibandingkan dengan mereka yang tidak terinfeksi HIV telah tinjau secara luas, ini member kesan bahwa hasil pengobatan pada kedua kelompok sama kecuali tingkat kematian lebih beasar pada pasien terinfeksi HIV.

Standar 14
Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifiti terhadap INH, Rifampisin dan etambutol. 

Rasionalisasi dan bukti
Resistensi obat merupakan akibat perbuatan manusia dan ini merupakan konsekwensi penggunaan paduan obat yang tidak optimal dan  pengobatan terputus.
Kesalahan klinis yang sering menyebabkan munculnya resistensi obat adalah kegagalan menyediakan dukungan pengobatan yang efekstif dan jaminan kepatuhan , kegagalan mengenali dan menangani ketidak patuhan pasien, paduan obat yang tidak adekuat, menambah satu obat baru pada paduan obat yang sudah gagal, dan kegagalan mengenali resistensi obat yang sudah ada.

Standar 15
Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berpihak kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.

Rasionalisasi dan hasil penelitian
Tiga opsi strategi untuk pengobatan MDR-TB yang  saat ini direkomendasikan oleh WHO ; pengobatan standar, padauan obat empiris, dan paduan obat yang disesuaikan untuk tiap individu.
Pilihan harus didasarkan pada ketersediaan obat lini kedua, peta resistensi kuman setempat dan riwayat penggunaan obat lini kedua.
Prinsip dasar dalam merancang paduan obat paling tidak empat obat yang masih efektif, paduan obat diberikan minimal empat hari seminggu, dosis obat ditentukan oleh berat badan pasien, penggunaan obat injeksi ( aminoglikosid atau kapriomisin) selama paling tidak enam bulan, lama pengobatan 18-24 bulan  dan DOT selama pelaksanaan pengobatan.

C.      Standar untuk Tanggung jawab Kesehatan Masyarakat

Standar 16
Semua praktisi yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif

Rasionalisasi dan bukti
Ketidak mampuan menjalankan investigasi kontak yang telah ditargetkan mengakibatkan hilangnya kesempatan mencegah bertambahnya kasus tuberkulosis, terutama pada anak. Oleh karena itu, usaha yang lebih gigih sangat penting untuk mengatasi hambatan dalam pengedalian tuberkulosis yang optimal.



Standar 17
Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku

Addendum
Pelaksaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

Rasionalisasi dan bukti
Melaporkan kasus tuberculosis kepada program pengendalian tuberculosis setempat merupakan fungsi kesehatan masysrakat yang amat penting. Sistem penyimpanan data dan pelaporan memungkinkan tidak lanjut yang terarah dan individual untuk menolong pasien.



Daftar Pustaka
1.       Ikatan Dokter Indonesia, Standar Internasional  untuk Pelayanan Tuberkulosis ( International Standards for Tuberculosis Care/ ISTC)
2.       Standar Internasional Pelayanan Tuberkulosis Diagnosis pengobatan kesehatan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar